==SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK-KAMPUNG==

"PERTAHANKAN ATAU MATI"

Senin, 15 November 2010

Pernyataan Bersama Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

Pernyataan Bersama
Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim


Lestari (kan) Kejahatan Perkebunan Kelapa Sawit?



Pada tanggal 7-8 November 2010, bertempat di Jakarta, sebanyak 25 perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok korban dari tiga region yakni, Sumatera, Kalimantan dan Jawa, telah menyelenggarakan suatu lokakarya untuk membahas dampak  dan praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh  perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang beroperasi di region tersebut. Lokakarya ini diselenggarakan sebagai respon terhadap berlangsungnya forum Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang ke delapan, suatu mekanisme pengembangan kerangka kerja pengaturan dan prosedur untuk mewujudkan praktik perkebunan kelapa sawit yang lestari.

Pernyataan bersama ini merupakan rekomendasi dari lokakarya dimaksud, yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan tanggung jawab negara untuk mewujudkan mekanisme pertanggungjawaban yang memadai  terhadap kejahatan korporasi dan pelanggaran HAM, yang terkait dengan operasi perusahaan-perusahaan baik lokal, nasional maupun internasional, serta mendesak perusahaan-perusahaan tersebut, segera melaksanakan kewajibannya, untuk menghormati HAM dalam  operasinya di bidang perkebunan.
 
Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga tahun 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luasan perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Akan tetapi, ekspansi tersebut, justru sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup.

Berdasarkan proses diskusi yang mendalam selama lokakarya, kami mencatat bentuk-bentuk pelanggaran HAM mendasar, dimana:

1.    Dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.

2.    Publik pun terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup, akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Pada umumnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dikelola oleh perusahaan-perusaahaan besar, tidak memenuhi standard Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mayoritas AMDAL perusahaan perkebunan hanya menduplikasi dari wilayah perkebunan satu, ke perkebunan lainnya. Dalam operasionalnya, perusahaan perkebunan pun jarang sekali mentaati standar-standar lingkungan yang dipersyaratkan.

3.    Tidak hanya kepada masyarakat, perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat  lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

4.    Beranekamacam tindak intimidasi dan kekerasan tak jarang dialami oleh para pekerja HAM dan pegiat lingkungan, ketika sedang melakukan kerja-kerja pendampingan dan pengorganisiran terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan, untuk mempertahankan hak-haknya dari jarahan perusahaan, dan buruh perkebunan, untuk menuntut haknya pada perusahaan.

5.    Aparat pemerintah dan institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, banyak yang ditindaklanjuti aparat dengan penangkapan dan penahanan, bahkan hingga pengajuan ke pengadilan. Ketimpangan dalam kepemilikan, dan sentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, tidak pernah dilihat aparat negara sebagai latar belakang munculnya konflik.

6.    Situasi demikian tentu sangat tidak menguntungkan bagi sebagian besar petani, masyarakat adat, buruh, dan masyarakat umumnya, ketika hak-hak hidup dan penghidupan mereka dirampas oleh perusahaan. Hak-hak mereka untuk mengembangkan diri, demi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, diinjak-injak oleh perusahaan. Tanah sebagai sarana utama penghidupan mereka, dijarah oleh perusahaan perkebunan, dan sayangnya pemerintah senantiasa melegitimasi perilaku sewenang-wenang perusahaan terhadap petani.

7.    Pemerintah berkuasa nampaknya kian jauh mengingkari tujuan awal didirikannya negara ini, yang salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana termaktub dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. Niat baik untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak pernah diikuti dengan pengawasan yang memadai, terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya, yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia.


Dengan seluruh penderitaan dan kesamaan rasa ketertindasan, menyikapi situasi yang terus berkembang, yang tak pernah berpihak pada petani, masyarakat adat, dan buruh perkebunan, kami para korban dan pendamping korban pelanggaran kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perilaku sewenang-wenang negara, mendesak:

1.    Presiden RI, untuk menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan.

2.    Presiden RI, segera menyelesaikan konflik-konflik Pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh.

3.    Pemerintah pusat, memerintahkan pejabat-pejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya.

4.    Komisi Nasional HAM, segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di
a.    PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai;
b.    PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu;
c.     PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang;
d.    PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas;
e.    PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur;
f.     PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi;
g.    PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel
h.    PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng
i.     PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng;
j.     PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng;
k.    PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim;
l.     PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.
5.    Forum RSPO, memerintahkan anggotanya untuk segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan, antara mereka dengan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

6.    Forum RSPO, secara serius menegakkan standar-standar, prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit lestari, khususnya menjamin diterapkannya standar dan prinsip HAM yang berlaku universal dan mengikat perusahaan.

7.    Forum RSPO, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam penentuan standar akreditasi, dan penyelesaian konflik perusahaan dengan masyarakat.

8.    Perusahaan perkebunan, untuk menghentikan seluruh tindak pelanggaran hak asasi, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan.

9.    Perusahaan perkebunan, menghentikan seluruh praktik perbudakan di perkebunan.

10.    Perusahaan perkebunan, untuk lebih menghormati hukum adat yang berlaku di masyarakat, dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini dirampas oleh perusahaan.

11.    Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan institusi peradilan), untuk lebih berpihak pada kelompok rentan, dan tidak menjadi kaki tangan perusahaan untuk menekan dan memidanakan masyarakat. Termasuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabat-pejabat negara yang dididuga terlibat dalam praktik-praktik korupsi sehingga memunculkan adanya operasi perkebunan yang ilegal.

12.    DPR, turut serta secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit, melalui pengawasan melekat terhadap Kementrian Pertanian, yang seringkali tidak berpihak pada petani.

13.    Mahkamah Konstitusi, segara membatalkan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang tidak berpihak pada petani dan sering menjadi instrumen untuk mengriminalisasi petani.

14.    Lembaga keuangan internasional terutama Bank Dunia dan ADB,  segera menghentikan dukungan finansial kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan kejahatan hak azasi manusia dan lingkungan hidup.


Jakarta, 8 November 2010

sumber: http://elsam.or.id/new/

12 perusahaan sawit diduga Langgar HAM

Senin, 08 November 2010 | 19:55 WIB
Bagus Supriyatno 


Komnas HAM didesak membentuk tim pencari fakta pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan kepala sawit.
Sebanyak 25 LSM mendesak Komnas HAM agar membentuk tim pencari fakta untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis yang dilakukan 12 perusahaan sawit terhadap masyarakat di sekitar perkebunan kepala sawit.
 
“Ekspansi perkebunan kelapa sawit sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar perkebunan. Sebaliknya justru telah menciptakan berbagai dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan, termasuk perempuan dan anak-anak, serta lingkungan hidup,” kata Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum.
 
Dia menyatakan telah terjadi berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan 12 perusahaan kepala sawit saat melakukan ekspansi perkebunannya. Pelanggaran HAM tersebut di anatarnya penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.
 
Selain itu penurunan kualitas lingkungan hidup akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Meski dikelola perusaahaan besar, namun pembukaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak memenuhi standard Amdal. Tidak jarang Amdal perusahaan hanya copy paste dari satu perkebunan ke perusahaan lain.
 
Dia menyebut ke-12 perusahaan tersebut adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai; PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu; PT Bangun Nusa Mandiri (Grup Sinar Mas) Ketapang; PT Pattiware I (Grup Ganda) Sambas, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur; dan PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi.
 
Selan itu PT Subur Agro Makmur (Grup Astra), Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan; PT Mustika Sembuluh (Grup Wilmar) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalimantan Tengah;  PT Sukajadi Sawit Mekar (Grup Musi Mas) Seruyan, Kalimantan Tengah; PT Salonok Ladang Mas  (Grup Union Sampoerna Triputra Persada) Seruyan, Kalimantan Tengah;  PT Sanjung Makmur, Bulungan Kalimantan Timur; dan PT Ledo Lestari (Grup Duta Palma), Bengkayang, Kalimantan Barat.
 
Menurut Dyah, setiap tahun terjadi penambahan sekitar 400 hektar perkebunan kelapa sawit. Mereka mendesak agar presiden menghentikan pemberian ijin perluasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit. “Kemudian diikuti pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan, “ tegasnya.
 
Selain itu, Wahyudi Djafar dari LSM Pil-Net juga meminta agar pemerintah segera menyelesaikan konflik pertanahan akibat perluasan perkebunan sawit tersebut. Presiden didesak untuk mengeluarkan instruksi yang melarang pejabat di daerah melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya
 
Desakan LSM  dan kelompok korban perkebunan kelapa sawit ini berdasarkan rekomendasi dari Forum Round Table on Sustainable Palm Oil  ke-8 yang berlangsung di Jakarta 7-8 November 2010.

------

13 Perusahaan sawit diduga terlibat korupsi

JAKARTA: Sedikitnya 13 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Kalimantan dan Sumatra diduga melakukan pelanggaran HAM dan praktik korupsi terkait dengan operasi perseroan, diperburuk dengan minusnya keberpihakan penegak hukum ke masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh 25 organisasi swadaya masyarakat dan tiga organisasi korban yang tergabung dalam Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan. Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indriaswati Diah mengatakan perkembangan kelapa sawit yang difasilitasi pemerintah justru menciptakan dampak negatif ke masyarakat kecil.
"Pemerintah harus menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan," ujar Indriaswati kepada pers di Jakarta hari ini.
Kelompok kerja itu sudah mencatat beberapa jenis pelanggaran HAM, maupun korupsi oleh 12 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Perbuatan tersebut adalah penyerobotan tanah, penurunan kualitas lingkungan hidup, korupsi dan  intimidasi terhadap masyarakat.
Sejumlah korporasi yang dimaksud adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai, Sumut, PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu, Sumut dan PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang, Kalbar.
Perusahaan lainnya adalah PT Pattiware I (Ganda Group), Sambas, Kalbar, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kaltim, PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi, PT Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel dan PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng.
Selain itu,  PT Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng, PT Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng, PT Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan PT Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

sumber: http://www.bisnis.com/umum/hukum/1id219091.html
------------------------------------------------------------

Presiden didesak selesaikan konflik warga-perusahaan perkebunan

Jakarta - Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh.

"Memerintahkan pejabat-pejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya," kata Koordinator PSD HAM Elsam, Wahyu  Wagiman, dalam jumpa persnya, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (8/11).

Pernyataan ini diserukan oleh ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim.

Menurut Wahyu, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luas perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Kendati demikian, ekspansi itu  sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

"Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup," jelas dia.

Pasalnya,  dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan. "Aparat pemerintah dan institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan," tegasnya.

Beberapa perusahaan disebutkan Kelompok Kerja ini diduga melakukan berbagai pelanggaran itu. Oleh sebab itu, lanjut Wahyu, Komisi Nasional HAM, harus segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai; PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu; PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang; PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas; PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur; PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi; PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel;  PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng  PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng; PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng; PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan  PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

Sumber: http://www.primaironline.com/berita/ekonomi/presiden-didesak-selesaikan-konflik-warga-perusahan-perkebunan
-----------------------------------------------------------

Nama perusahaan perkebunan yang dituding melanggar HAM

Jakarta - Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) diminta membentuk tim pencari faktauntuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis yang dilakukan perusahaan perkebunan.

Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam rilis yang diterima primaironline.com, Senin (8/11) menyatakan ada beberapa perusahaan sawit yang diduga melanggar hak asasi manusia.

Berikut perusahaan yang diduga melanggar hak asasi manusia versi Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan:

1.   PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai;
2.   PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu;
3.   PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang;
4.   PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas;
5.   PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur;
6.   PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi;
7.   PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel
8.   PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng
9.   PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng;
10. PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng;
11. PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim;
12. PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.


Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan yang terdiri dari LSM,  ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim menyatakan, dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.

"Bahkan perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat  lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit," ujar Wahyudi Djafar dalam rilisnya.

Sumber:http://www.primaironline.com/berita/hukum/nama-perusahaan-perkebunan-yang-dituding-melanggar-ham
---------------------------------

13 Perusahaan Sawit Diduga Langgar HAM dan Korupsi

JAKARTA – Sedikitnya 13 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Kalimantan dan Sumatra diduga melakukan pelanggaran HAM dan praktik korupsi terkait dengan operasi perseroan, diperburuk dengan minusnya keberpihakan penegak hukum ke masyarakat.

Hal itu disampaikan oleh 25 organisasi swadaya masyarakat dan tiga organisasi korban yang tergabung dalam Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan. Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indriaswati Diah mengatakan, perkembangan kelapa sawit yang difasilitasi pemerintah justru menciptakan dampak negatif ke masyarakat kecil.

“Pemerintah harus menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan,” ujar Indriaswati kepada pers di Jakarta Senin (5/11).

Kelompok kerja itu sudah mencatat beberapa jenis pelanggaran HAM, maupun korupsi oleh 12 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Perbuatan tersebut adalah penyerobotan tanah, penurunan kualitas lingkungan hidup, korupsi dan  intimidasi terhadap masyarakat.

Sejumlah korporasi yang dimaksud adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai, Sumut, PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu, Sumut dan PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang, Kalbar.

Perusahaan lainnya adalah PT Pattiware I (Ganda Group), Sambas, Kalbar, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kaltim, PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi, PT Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel dan PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng.

Selain itu,  PT Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng, PT Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng, PT Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan PT Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

Sumber:
http://www.cuwelamomang.com/13-perusahaan-sawit-diduga-langgar-ham-dan-korupsi/

-----------------------------------------------------------


















































"Sawit Sejuta Masalah"

(Kuburan  Yang Berada Ditengah jalan perusahaan sawit)

Guna memenuhi ambisi tersebut, pemerintah berupaya terus memperluas areal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dari data SOB, Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,45 juta hektar ( tahun 2008 ) atau meningkat 10,7 % dari tahun 2007 yang mencapai luas 6,79 juta hektar. Walau ambisi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, keuntungan yang besar justru diperoleh sejumlah pengusaha dan pemodal dibidang perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar adalah pengusaha dan pemodal dari Negara asing.
 
(Orang Utang Kehilangan Tempat Tinggal)
Masyarakat disekitar perkebunan kerap kali menjadi korban. Konflik penguasaan lahan antara masyarakat dan pengusaha seringkali terjadi , pelanggaran- pelanggaran terhadap buruh-buruh tani diperkebunan masih sering kita dengar dan lihat dimedia massa, pelangaran terhadap hak-hak adat, perusakan situs-situs budaya, pembantaian hewan yang dilindungi dll, kerapkali terjadi di areal yang menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit. Belum lagi dampak lain yang ditimbulkan akibat dari pembukaan perkebunan kelapa sawit, seperti; banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dll. 

"MARINTIS BALUKAR"

SEBUAH PROSES PROTEKSI SEDERHANA YANG DILAKUKAN MASYARAKAT SEMBULUH SAAT INI.

M arintis Balukar [bahasa sembuluh] dalam pengertian dalam bahasa indonesia adalah sebuah proses membuat alur [jalan] untuk memudahkan pengaturan lokasi lahan untuk berladang atau berkebun. Proses berladang oleh masyarakat sembuluh sudah dalam 4 tahun terakhir ini jarang terlihat di desa sembuluh. Apalagi dalam 2 tahun terakhir ini pemerintah melalui intruksi dari Gubernur dan di teruskan kepada Bupati dan walikota untuk tidak memperbolehkan membakar hutan dan lahan.
Marintis balukar yang dilakukan oleh sekitar 50-an orang warga desa sembuluh I dan II pada bulan juni 2008 yang lalu adalah merupakan proses panjang dimana hutan belukar yang direncanakan masyarakat untuk lahan perkebunan karet ini merupakan sebagian kecil wilayah yang tersisa untuk masyarakat sembuluh. Lokasi ini dinamakan masyarakat [dengan nama lokal] lokasi pangajangan, dimana dulunya merupakan tempat sebagian masyarakat berladang dan usaha lain seperti membuat balok ulin [manggesek ulin], berburu. Luas lahan ini di perkirakan sekitar 700-an hektar, yang berbatasan dengan blok-blok kebun sawit PT.KERRY SAWIT INDONESIA [PT.KSI- WILMAR] dan PT. SALONOK LADANG MAS [PT.SLM- USTP]. Menurut penuturan warga setempat,sebelumnya luas di pangajangan ini seluas +/- 1.400-an hektar. Karena ada beberapa oknum yang mengatasnamakan masyarakat yang menjual wilayah ini kepada perusahaan perkebunan untuk pengembangan sawit, dan hutan serta belukar pangajangan menjadi berkurang menjadi +/- 700-an hektar.
LOKASI KETAHANAN PANGAN YANG TERSISA Lokasi pangajangan ini merupakan daerah natai¹ [daerah tinggi], dan pada bagian rendahnya bersatu dengan ayap² kursi [ayap;rawa]. Jarak tempuh untuk mencapai lokasi ini pada saat sekarang memakan waktu sekitar 0,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari desa sembuluh dengan melewati blok-blok kebun sawit PT. SLM dan KSI. Dulu sebelum ada jalan darat,untuk mencapai lokasi ini masyarakat dalam proses berladang biasanya menggunakan perahu kelotok selama 1 jam kemudian di teruskan lagi dengan berjalan kaki selama 3-4 jam perjalanan. 
Pada lokasi pangajangan ini sejak tahun 2007 terpampang sebuah papan dengan tulisan ”LAHAN KEBUN MASYARAKAT DESA SEMBULUH I/II” walaupun terlihat
tulisan di papan tersbut sudah mulai pudar. Menurut masyarakat sejak tahun 2006, lokasi ini sudah hampir 3 bahkan 4 kali akan di lakukan penggarapan oleh perusahaan
perkebunan sawit,namun hal tersebut selalu di cegah oleh masyarakat. Alasan dari pihak perusahaan adalah bahwa lokasi ini sudah di bebaskan [dijual] oleh oknum masyarakat. Namun masyarakat tetap bersikeras untuk mempertahan lokasi ini. karena lokasi [lahan] yang ada ini merupakan lahan yang tersisa milik dari masyarakat desa sembuluh. Terakhir lokasi ini akan dijual oleh oknum masyarakat pada bulan maret tahub 2008 yang lalu, namun lokasi lahan ini tetap di tahan [proteksi] oleh masyarakat dengan mendatangi phak perusahaan untuk tidak melakukan penggarapan lahan.okasi lahan pangajangan ini tembus pada daerah rawa [ayap],atau masyarakat sembuluh biasanya menyebut dengan lokasi ayap kursi.
Menurut informasi masyarakat,lokasi ayap kursi saat ini di perkirakan seluas 200 – 300 hektar. Pada tahun 2006,lokasi ayap kursi juga di lakukan perintisan oleh masyarakat untuk di jadikan perencanaan lokasi pertanian sawah. Ayap atau rawa biasanya dijadikan atau dikembankan menjadi lokasi lahan pertanian sawah.
Hal ini kemudian di respon oleh pemerintah kabupaten seruyan melalui program subsidi BBM dengan membuat rintisan irigasi di bantu oleh pihak perusahaan [PT.SLM dan PT KSI] untuk membuat batas,dimana lokasi ayap kursi ini juga berbatasan dengan kedua perusahaan tersebut. Namun dalam proses penggunaan dana
proyek [subsidi BBM] untuk pembuatan irigasi lokasi persawahan ini tidak berjalan dengan baik dan sampai saat ini lokasi ayap kursi menunggu akan dijadikan blok kebun sawit atau lokasi pertaniansawah.
Melihat dari proses kecil yang dilakukan oleh masyarakat sembuluh,mestinya pemerintah dan perusahaan yang ada di sekitar lokasi pangajangan jeli melihat. Karena proses marintis yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sembuluh adalah suatu upaya penyelamatan pangan masyarakat natai dan ayap dari blok-blok pengembangan kebun kelapa sawit. Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono dalam sebuah tayangan beberapa bulan yang lalu pernah mengatakan bahwa ketahanan pangan masyarakat harus di jaga. Dengan demikian alangkah bijaknya apabila pemerintah dari Bupati,Camat sampai pemerintahan terendah [Kepala Desa hingga
RT] bersama masyarakat lainnya bersama menyelamatkan lokasi ayap yang tersisa untuk lokasi pertanian sawah yang menjadi tempat areal pangan masyarakat.
Oleh karena itu lokasi lumbung pangan masyarakat harus diselamatkan karena manusia tidak makan buah sawit tapi makan nasi [beras]. ¹Natai adalah sebuah dataran yang agak tinggi dari ayap. Pada daerah natai ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk berladang dan berburu. Pada daerah natai ini terdapat hutan tempat masyarakt mencari berbagai kebutuhan seperti mencari akar obat,jenis kayu dan usaha lainnya. Apabila natai yang dituju agak jauh dari pemukiman,masyarakat untuk mencapai lokasi natai biasanya beristirahat ditengah perjalanan. Tempat tempat istirahat/ persinggahan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk melakukan kegiatan berladang atau berburu tersebut di sebut dengan Tungkaran. Pada daerah natai ini terbagi dalam berbagai peruntukan seperti hutan [himba],lokasi ladang,bekas pemukiman d a n l a d a n g [ k a l e h k a k ] , k e b u n , t e m p a t u s a h a [manggembor,manggaru,maulin,dll]. Ayap adalah sebuah dataran rendah atau rawa tadah hujan yang bisa dan cocok digunakan untuk pertanian sawah [menanam pad]i. Pada Pada lokasi ini biasanya mempunyai tingkat keasaman yang lebih. Selain itu juga biasanya masyarakat menangkap ikan pada waktu tertentu

[OEBAN_HADJO]



TUNTUTAN DAN PERNYATAAN SIKAP Masy. Sembuluh Thd PT. Kerry Sawit Indonesia

From: "Kompak Sembuluh" <kompak_sembuluh@...>
Subject: TUNTUTAN DAN PERNYATAAN SIKAP Masy. Sembuluh Thd PT. Kerry        Sawit Indonesia (KSI)


Nomor : 04/KS/IX/2003
Lampiran :
Perihal : TUNTUTAN DAN PERNYATAAN SIKAP
Kepada :
              Saudara Pimpinan PT. KSI
              [ PT. Kerry Sawit Indonesia ]
              di-
                   Tempat


Salam lestari.
KOMPAK Sembuluh [Komunitas Masyarakat Pengelola  Kawasan Sembuluh] merupakan suatu organisasi rakyat  yang tumbuh dengan tujuan untuk Mengayomi hak-hak  masyarakat, Memperjuangkan sistem penglolaan kawasan dan SDA berbasiskan rakyat, berkeadilan, demokratis dan berdasar kearifan lokal, kelestarian fungsi  lingkungan yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat dan dadah perjuangan rakyat untuk memperoleh manfaat dari sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Sesuai dengan tujuannya KOMPAK Sembuluh telah menaruh perhatian yang tinggi terhadap beroperasinya berbagaiperusahaan perkebunan sawit, khususnya PT. KSI diwilayah kawasan Sembuluh, Kecamatan Danau Sembuluh,Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, dimana sebetulnya keberadaaan perusahaan PT. KSI dan perkebunan sawit lainnya masih menyisakan permasalahan berupa perbedaan sikap masyarakat atas keberadaan dan penyelesaian berbagai hak-hak atas tanah dan berbagai persoalan lain yang belum dapat diperjelaskan oleh perusahaan, maka dengan ini KOMPAK Sembuluh menyampaikan beberapa sikap dan tuntutan, sebagai berikut :
1. Perusahaan PT. KSI harus dapat menjelaskan dan menegaskan berbagai konstribusi nyata yang sekiranya dapat mendorong kepada arah percepatan pengembangan ekonomi masyarakat lokal yang betul-betul real, nyata dan langsung dirasakan oleh masyarakat.
2. Perusahaan PT. KSI semestinya memprioritaskan tenaga kerja bagi tenaga kerja dari masyarakat lokal dan bukan hanya sebagai buruh harian kasar, dalam hal ini bukan bermaksud menolak pekerja luar, tetapi sumberdaya manusia lokal juga harus memperoleh kesempatan yang luas. Demikian juga halnya perusahaan sebaiknya menjalankan upaya pemberdayaan dan pembinaan kepada pelajar dan pemuda untuk mengembangkan tingkat pendidikan dan keterampilan, apabila ada pendapat bahwa kapasitas dari tenaga kerja lokal masih lemah melalui fasiltas beasiswa, kursus, pelatihan dll.
3. Upah buruh perkebunan harus sesuai dengan kebutuhan hidup rakyat, untuk hal ini perusahaan harus dapat memberikan penilaian yang objektif terhadap kebutuhan tenaga kerja dan nilai kerja yang dapat dijalaninya sebelum berbagai sumber kehidupannya tergusur akibat adanya dampak dari pembukaan perkebunan sawit [misalnya nelayan, ladang dan perkebunan rakyat].
 4. PT. KSI juga harus dengan tegas dapat memberikan jaminan bahwa tidak melakukan pemaksaan dan intimidasi serta memanfaatkan kekuasaan dan aparat, atas keputusan anggota masyarakat dalam menentukan pilihan jenis mata pencarian dan penggunaan lahan dan kawasannya, termasuk juga kepada masyarakat yang dengan jelas sudah menyatakan ketidak setujuannya atas pembukaan lahan dan hutan rakyat untuk perkebunan sawit. Pelanggaran atas ini kami nilai sebagai suatu pelanggaran HAM.
5. PT. Kerry Sawit Indonesia juga harus dapat memberikan jaminan untuk tidak menimbulkan dan mengakibatkan dampak buruk terhadap lingkungan, yang dapat berakibat rusaknya kawasan Sembuluh, baik kehidupan darat ataupun kehidupan perairan danau Sembuluh. Agar diketahui bahwa masyarakat Sembuluh sangat bergantung dengan perairan danau Sembuluh. Untuk itu harus dipastikan bahwa tidak akan ada dampak negatif [erosi, sendimentasi dan pencemaran] dari perkebunan yang saudara buka, terlebih lagi ketika musim hujan.
6. Sebagai upaya peningkatan pembangunan desa, PT. KSI juga sebaiknya dapat menjelaskan konrtibusi langsung terhadap pembangunan desa dan masyarakat desa.
Kami berharap PT. KSI dapat memberikan penjelasan ini, sehingga ada kepastian masa kedepan bagi masyarakat dan kawasan Sembuluh.

Sekian.
Sembuluh, 08 September 2003
Komunitas Masyarakat Pengelola Kawasan Sembuluh [ KOMPAK SEMBULUH ],

Walhi Desak Pemerintah Tata Ulang Areal Perkebunan Kelapa Sawit

Sabtu, 20 Maret 2010

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah menata ulang alokasi lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Kalbar).

Mereka menyinyalir sekitar separuh dari lima juta hektare (ha) lahan yang dialokasikan untuk perkebunan sawit itu berada di kawasan hutan.

"Areal perkebunan kelapa sawit banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Termasuk hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya," kata Direktur Daerah Walhi Kalbar Hendy Chandra di Pontianak, Jumat (19/3).

Ia mengungkapkan, sekitar 1,6 juta dari 2,5 juta hektare (ha) izin alokasi perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih itu sudah beroperasi, sehingga diduga melakukan perambahan. Oleh karena itu, Walhi Kalbar mendesak pemerintah menghentikan aktivitas tersebut dan segera melakukan audit lingkungan.

"Dari hasil audit itu akan ketahuan berapa luas kerusakan dan potensi kerugian negara akibat perambahan tersebut, sehingga mereka (perusahaan) bisa dituntut," ungkapnya.

Hendy mengatakan pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi modus baru dalam praktik perambahan hutan di Kalbar. Praktik itu marak setelah aktivitas pembalakan liar (illegal logging) secara konvensional mulai menurun dalam beberapa tahun terakhir.

"Mereka sebenarnya hanya mengincar kayu karena sebagian izin alokasi perkebunan itu dipegang oleh para makelar lahan," ujarnya.

Data Walhi Kalbar pada 2009 menyinyalir terdapat 340 ribu ha kawasan hutan lindung di provinsi itu telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Luas areal tersebut mencapai 15% dari sekitar 2,3 juta ha luas keseluruhan kawasan hutan lindung di Kalbar.

"Alih fungsi lahan itu kemungkinan besar semakin meluas. Sebab, sekitar 70 persen dari sembilan juta hektare luas kawasan hutan di Kalbar saat ini mengalami kerusakan," kata Hendy. (AR/OL-01) 

Mendengar Jeritan Hati Para Petani Kelapa Sawit

Rabu, 6 Juni 2007
Mendengar Jeritan Hati Petani Kelapa Sawit
Ketika Harapan Tak Seindah Impian


Pontianak,- Diera akhir tahun 70-an pembangunan perkebunan kelapa sawit terlihat maju dengan pesat. Dalam perjalannya, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Seiring dengan perkembangannya, jumlah produksi kelapa sawit pun meningkat. Namun, dibalik kejayaannya, ternyata pembukaan perkebunan kelapa sawit itu menyimpan bom waktu. Seperti apa ancaman yang ditimbulkannya? Catatan Pringgo-Pontianak SEJAK dua puluh tujug tahun yang silam, kabupaten Sanggau terkenal sebagai daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat. Berdasarkan data yang ada pada Dewan Pimpinan Provensi Serikat Petani Kelapa Sawit Kalimantan Barat (DPP-SPKS Kalbar), di tahun 2005 luas areal perkebunan kelapa sawit di ‘Bumi Daranante’ itu mencapai 131.148,64 hektar, dengan rincian 20.999,30 hektar milik perusahaan besar negara, 30.453,40 hektar milik perusahaan swasta nasional, dan 21.999,30 milik perusahaan swasta asing. Dari jumlah tersebut, luas lahan kelapa sawit milik petani plasma mencapai 77.383,30 hektar. Dilihat dari segi hasil, jumlah produksi kelapa sawit di tahun 2004 tercatat mencapai 1.059.355.104 ton dari total lahan produktif seluas 199.617.90 hektar. Besaran konstribusi dari petani plasma 197.345.03 ton CPO per tahun, dengan produktifitas 11.56 ton CPO per hektar. Angka ini jauh lebih besar dari produktifitas lahan perkebunan milik pemerintah, perusahaan swasta nasional dan perusahaan swasta asing yang nilainya hanya 13.046 ton CPO per hektar per tahun. Dari angka-angka ini, mulanya tujuan dari pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah untuk membantu meningkatkan penghasilan masyarakat, khususnya yang terlibat dalam kemitraan dengan pihak perusahaan. Tapi sayang, harapan tersebut ternyata tak seindah dengan apa yang diimpikan. Selama perkebunan kelapa sawit beroperasi, setidaknya telah ada tiga belas kasus yang mencuat kepermukaan. Ironisnya lagi, persoalan itu menimpa anggota SPKS yang hingga kini belum juga terselesaikan. Adanya temuan tiga belas kasus yang dialami oleh anggota SPKS ini dibenarkan oleh Arie Rio Rompas, konseling dari Sawit Whact untuk SPKS. Dijelaskan olehnya, system perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang ini telah menginjak pada perampasan kedaulatan atas hak-hak para petani, sebagai pemilik lahan. Beberapa persoalan serta dampak yang ditimbulkan bagi para petani, khususnya petani plasma antara lain pengadaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adapt dan masyarakat setempat. Disamping itu, jelas Rio, pembagian lahan untuk kebun plasma juga tidak adil, tidak transparan dan tidak sesuai dengan janji serta kesepakatan maupun aturan yang ada. Kompensasi lahan tidak jelas. Kalaupun ada, jumlahnya tidak memadai. Para petani plasma tidak terlibat secara partisipatif dalam hal penentuan beban kredit. Dibidang penentuan harga TBS (Tandan Buah Segar), petani plasma tidak dilibatkan. Persoalan terasa semakin meluas manakala masyarakat setempat tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia di kebun inti serta pabrik pengolahan CPO. Di bidang pembangunan jalan poros dan penghubung menuju kebun plasma, kehadirannya tidak mendapat perhatian dan pemeliharaan secara serius oleh perusahaan dan pemerintah. “Sejumlah persoalan ini semuanya bermuara pada terjadinya konflik sosial, baik antara masyarakat dengan pihak perusahaan, masyarakat dengan pihak pemerintah atau masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya,” terang Rio menjelaskan. Bagaimana dengan dampak yang ditimbulkan pembangunan perkebunan kelapa sawit bagi lingkungan? Menurut dia, jelas ada. Pencemaran itu hadir seiring dengan adanya praktik pembuangan limbah pabrik dan bahan kimia yang tidak terkontrol sehingga mengakibatkan air sungai, tanah dan udara tercemar. Situasi tampak semakin payah ketika pihak perusahaan tidak lagi menghormati dan melaksanakan hukum adapt setempat serta hukum Negara. Bercermin dari keadaan yang menyedihkan tersebut, para petani sawit yang tergabung dalam SPKS berupaya keras untuk mewujudkan system pembangunan perkebunan kelapa sawit yang benar-benar bisa mensejahterakan rakyat. Untuk persoalan lahan, SPKS ingin memperjuangkan lahan-lahan yang diperoleh perusahaan tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat adat, dimana nantinya lahan-lahan itu akan dikembalikan kepada masyarakat adat. Dibidang penetapan harga TBS, pihaknya akan berupaya mewujudkan transparansi melalui keterlibatan para petani. Perinsip keterbukaan yang sama berlaku pula pada akses informasi dan data, terkait dengan praktik pembangunan perkebunan kelapa sawit. Menyangkut kredit kebun plasma, SPKS meminta untuk dihapuskan sebagai bentuk kompensasi yang diserahkan kepada perusahaan. Penepatan janji-janji perusahaan kepada masyarakat juga menjadi point penting dalam hal pembangunan serta pemeliharaan infrastruktur jalan menuju kebun plasma. “Kepada pihak pemerintah, kami meminta agar mau berpihak kepada masyarakat dalam hal menyelesaikan beragam masalah, tanpa menggunakan cara-cara intimidasi. Sebagai gantinya pemerintah diminta u ntuk mengedepankan tindakan persuasive dan edukatif,” pintanya. Guna lebih menciptakan iklim yang transparan, lanjutnya, SPKS memita untuk diadakannya audit independent atas seluruh aset yang ada pada perusahaan secara berkala. Audit ini harus dilakukan oleh lembaga Negara atau akutan publik. Khusus pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, secara tegas SPKS menyatakan menolak. (*)