==SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK-KAMPUNG==

"PERTAHANKAN ATAU MATI"

Kamis, 09 Desember 2010

Bantahan Bupati Serruyan atas Ribuan Warga Tolak Perkebunan Sawit "PATUT DIPERTANYAKAN KEMBALI"

Respon Bupati Seruyan atas berita seelumnya :

Kamis, 17 Nopember 2005 01:37:58
Penolakan Perluasan Sawit Rekayasa Cukong
Seruyan, BPost

Khabar penolakan ribuan warga terhadap rencana perluasan areal kebun perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah diduga bentuk rekayasa segelintir orang yang selama ini melakukan praktek usaha perkayuan secara liar (ilegal logging).

Bupati Seruyan H Darwan Ali di Banjarmasin, Rabu (16/11), mengatakan, rencana perluasan areal kebun sejumlah perusahaan kelapa sawit itu jauh hari telah disosialisasikan kepada masyarakat seperti di Kecamatan Seruyan Hulu dan Kecamatan Seruyan Tengah yang dipadu dengan kegiatan Safari Ramadhan 1426 H.

Dalam kesempatan beberapa kali pertemuan dengan masyarakat pada dua kecamatan sempat terlontar pertanyaan termasuk dari dua orang pimpinan dan tokoh keagamaan termasuk seorang yang baru bertugas di Seruyan terkait kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan akibat perluasan lahan kebun sawit.

Pada kesempatan itu dijelaskan rencana perluasan areal kebun sawit pada kawasan hutan non produktif, dan kalaupun masih ada kayu hanya cukup untuk keperluan lokal seperti pembuatan base camp atau untuk keperluan masyarakat yang tinggal sekitar kawasan hutan.

Lima lokasi rencana perluasan kebun PBS kelapa sawit itu diusulkan kepada Menteri Kehutanan terkait status kawasan yang masih berupa hutan produksi.

"Karena lokasi rencana perluasan kebun sawit itu masih belum berubah sebagai kawasan hutan produksi maka tidak boleh melakukan kegiatan sebelum keluar ijin dari Menhut," kata Bupati Seruyan Darwan Ali seraya menyebutkan begitu juga untuk areal kawasan peruntukan pemukiman (KPP).

Namun untuk izin prinsif dan izin lokasi areal yang termasuk kawasan peruntukan pemukiman dan lain-lain (KPPL) merupakan kewenangan bupati.

Kabupaten Seruyan yang merupakan daerah baru pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur dengan jumlah penduduk 112.767 jiwa mendiami wilayah seluas 16.404 kilometer persegi (km2) dan 1,020 juta hektare di antaranya berupa kawasan hutan.

Dari sebanyak 32 PBS kelapa sawit fasilitas penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) masing-masing sembilan PBS telah produksi, 16 PBS persiapan lahan dan dan tujuh PBS mendapatkan izin prinsif dan proses izin lokasi dengan total luas lahan kebun sawit 450.175 hektare.

Menurut Bupati Darwan, Pemkab Seruyan tidak akan mentolerir terhadap warga masyarakat yang tetap ingin bertahan dengan usaha illegal logging. ant

sumber : http://groups.yahoo.com/group/infosawit/message/2473
 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hal yang sangat mengiris urat nadi masyarat dan membuat masyarakat kab. Seruyan menarik napas panjang adalah peryataan orang No.1. Kab.Seruyan Sebut saja H.Darwan Ali yang sekarang masih aktif menjabat sebagai Bupati seruyan priode 2009-2014. yang dengan lantang mengatakan "Pada kesempatan itu dijelaskan rencana perluasan areal kebun sawit pada kawasan hutan non produktif, dan kalaupun masih ada kayu hanya cukup untuk keperluan lokal seperti pembuatan base camp atau untuk keperluan masyarakat yang tinggal sekitar kawasan hutan." apakah benar........??? coba kita tenggok kelapangan benarkah hutan yang beralih fungsi menjadi PBS sawit benar2 itu benar-benar hutan kritis atau non produktif..........!!!!

Kamis, 18 November 2010

MENAKAR DAMPAK SOSIAL PERKEBUNAN SAWIT

Saat ini perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan adalah salah satu primadona daerah dalam meningkatkan PAD -katanya-, walaupun sampai sejauh ini belum terlihat apakah PAD yang ada itu meningkat atau kah itu hanya sebuah keniscayaan. Investasi dalam perkebunan sawit pun, belum tentu dapat meningkatkan APBD.
Maraknya pembukaan areal perkebunan sawit baru di Kalimantan Selatan semakin tahun semakin ekspansif dan meluas. Di saat lahan dataran rendah sudah semakin menyempit, banyak perusahaan sawit yang mulai melirik lahan rawa yang selama ini tidak dipergunakan, padahal kita tahu bahwa lahan rawa mengandung berbagai macam kandungan karbon yang bila dilepaskan akan banyak menghasilkan karbondioksida yang sangat banyak ke udara dan tentunya hanya akan menambah dampak pemanasan global yang terjadi. Belum lagi permasalahan akan rusaknya ekosistem rawa yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat.
Di Kalimantan Selatan sendiri akan dibuka sekitar 1,1 Juta hektar perkebunan sawit dan saat ini baru terealisasi sekitar 400 ribu hektar, dengan luasan tersebut sangat mungkin terjadi tumpang tindih lahan antara perkebunan sawit dan lahan-lahan produktif masyarakat karena. Perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan saat ini lebih di arahkan ke daerah rawa. Hampir semua wilayah kabupaten yang memiliki wilayah rawa tidak terlepas dari ekpansi perkebunan sawit, mulai kabupaten Barito Kuala, kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan kabupaten Tabalong.
Pada umumnya dalam setiap kegiatan investasi tanah atau lahan merupakan aset yang terpenting, ini karena tanah atau lahan tersebut merupakan alat produksi paling vital. Sehingga dapat dipastikan bahwa dalam setiap kegiatan investasi dalam berbagai sektor, konflik lahan menduduki peringkat paling atas, demikian pula halnya dengan perkebunan kelapa sawit. Konflik lahan antar masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga konflik antar sektor perkebunan berhadapan dengan sektor pertambangan. Dengan kata lain bahwa “semakin tinggi perluasan perkebunan sawit maka akan semakin tinggi pula persoalan konflik lahan yang terjadi”. Dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi posisi masyarakat selalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat di akui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan. Menurut catatan Sawit Watch konflik sosial yang terjadi terkait dengan perkebunan sawit diseluruh Indonesia pada tahun 2008 saja mencapai 513 kasus. Hal ini disebabkan salah satunya adalah, untuk membangun sebuah perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik CPO dibutuhkan minimal 6.000 hektare lahan. Kondisi ini menyebabkan lahan hutan dan juga lahan-lahan produktif yang diambil secara paksa oleh perusahaan walau dengan berbagai macam motif dan perilaku yang menjadi awal mula terjadinya konflik. Ada beberapa hal yang bisa ditarik dalam kerangka analisa konflik perkebunan sawit di Indonesia pada umumnya, yaitu adanya beberapa “modus” konflik yang terjadi, salah satunya adalah pengalihan isu yang sering terjadi dalam konflik perkebunan sawit, Ada upaya sistematis yang di lakukan baik itu pengusaha ataupu penguasa untuk mengalihkan isu dari persoalan sengketa tanah menjadi masalah kriminal. Artinya persoalan tanah antara masyarakat pemilik tanah dengan perusahaan sawit berubah jadi masalah kriminal dengan menggunakan tenaga keamanan swasta (baca : preman) dan aparat penegak hukum sebagai alat untuk mengintimidasi dan membungkam perjuangan masyarakat untuk meraih lahannya kembali yang diambil ataupun digarap secara sepihak oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sampai sekarang metode ini yang paling sering digunakan oleh banyak perkebunan kelapa sawit di seluruh indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Dengan cara kriminalisasi terhadap masyarakat, adalah alat yang digunakan pengusaha dalam meredam perlawanan-perlawanan yang dilakukan masyarakat terkait dengan penolakan terhadap perkebunan sawit yang dilakukan masyarakat.
Mitos mensejahterakan?
Seperti halnya pertambangan yang sampai saat ini kita masih patut mempertanyakan apakah dengan masuknya tambang dan perkebunan akan menambah kesejahteraan masyarakat sekitar atau masih menjadi “mitos” dan sekedar angan-angan belaka, seharusnya dengan adanya perluasan kelapa sawit berbanding lurus dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar areal perkebunan sawit. Perkebunan sawit jelas akan menambah angka PDRB, setidaknya dari jumlah produksinya. Perkebunan sawit memang akan menyerap banyak tenaga kerja, tapi boleh jadi tenaga kerja berasal dari Jawa (bukan tenaga kerja setempat), belum lagi system plasma seperti apa yang digunakan perusahaan. Hasil penjualan sawit masuk ke perusahaan dan uangnya tercatat secara virtual di bank Jakarta.
Sementara pajak-pajak dari perkebunan sawit itu tidak banyak menambah APBD. Dan perkebunan sawit rakus air, menghilangkan habitat hutan, dan tidak menyerap karbon yang banyak, malah berpotensi mengeluarkan karbon jika perkebunan itu dilakukan di rawa gambut. Dari semua itu, berapa % yang tercecer di daerah?. Memang dengan adanya investasi maka akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan benar PDRB itu akan berpengaruh terhadap APBD namun itu tidak serta merta menambah APBD karena PDRB akan berdampak secara jangka panjang, jadi bisa dikatakan salah kaprah kalau mengatakan dengan masuknya investasi perkebunan akan serta merta meningkatkan APBD, kalau meningkatkan kondisi perekonomian suatu daerah saya kira akan lebih tepat tapi bukan APBD. Belum lagi dampak dari krisis ekonomi global yang membuat banyak petani kelapa sawit yang menjerit akibatnya anjloknya harga tandan buah sawit segar (TBS). Saat ini ada jutaan petani sawit yang tidak lagi memanen tandan buah segar (TBS) karena ongkos produksi dan biaya panen jauh lebih mahal dari harga jual TBS. Petani sawit mandiri yang biasanya menjual TBS seharga Rp 1.600 per kg, kini hanya bisa meratap ketika harga jual TBS hanya mencapai Rp 250 – Rp 500 per kg. Nasib yang sama juga dialami petani plasma. Harga jual TBS sebelum bulan Agustus 2008 bisa mencapai Rp 1.800/ kg namun, sekarang hanya dihargai Rp 600 – Rp 800/ kg. Itupun masih dipotong cicilan utang modal kepada perusahaan inti. Hal-hal seperti ini yang harus menjadi banyak pertimbangan berbagai pihak dalam kebijakan untuk berinvestasi terutama dalam melihat kondisi masyarakat dimana akan dibukanya investasi perkebunan sawit. Mengadopsi kearifan lokal yang ada dengan membiarkan masyarakat mengelola lahannya sesuai dengan cara mereka selama ini dan memberikan akses yang sebesar-besarnya terhadap sumber-sumber produksi rakyat seperti, air, tanah, lahan pertanian, modal, teknologi, jalur distribusi dan infrastruktur pendukung lainnya merupakan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang memaksakan suatu kebijakan yang justru akan menambah panjang daftar konflik yang ada antara masyarakat, penguasa dan pengusaha. Yang salah bukan lah sawitnya tapi sistem yang ada di dalam perkebunan sawit lah yang harus menjadi pertimbangan bagi para penguasa dalam menerapakan investasi perkebunan sawit di kalimantan selatan.
Dwitho Frasetiandy
andy@walhikalsel.org

Selasa, 16 November 2010

Kesejahteraan SAWIT Sebatas JANJI

Kendari Pos, Lingkungan 2010-01-23/ Halaman 6


INDONESIA merupakan negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia. Saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 juta hektar dan masih berencana memperluas kebun sawitnya hingga mencapai 20 juta hektar.
Perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab utama penggundulan hutan dan pembukaan lahan gambut Indonesia, yang menyebabkan punahnya spesies langka dan keanekaragaman hayati lainnya. Selain itu mekanisme pembakaran dalam membuka lahan dan pengeringan gambut untuk ditanami sawit, ternyata menghasilkan jutaan ton karbondioksida (CO2), yang membuat Indonesia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan China.
Di sisi ketenagakerjaan, jutaan penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan lahan gambut mengalami kesulitan. Karena mereka terpaksa kehilangan tanah dan kebun demi pembangunan kebun kelapa sawit.
Gambaran tersebut di atas merupakan fakta nasional. Namun rupanya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara. Dari tujuh kecamatan yang ada, tiga diantaranya memiliki kebun kelapa sawit, masing-masing kecamatan Asera, Langkikima, dan Wiwirano. Tahun 2005 lalu —ketika belum mekar dari Kabupaten Konawe— mereka kedatangan investor kelapa sawit.
Pada saat itu ratusan masyarakat berbondong-bondong untuk mengadu peruntungan menjadi petani kelapa sawit. Tidak terelakkan banyak masyarakat yang menyerahkan copyan sertifikat tanah, sebagai bukti bahwa lahannya siap untuk diukur dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pihak perusahaan menjanjikan pembagian hasil 40 persen untuk pemilik lahan dan 60 persen untuk perusahaan. Tidak hanya itu pihak perusahaan pun menjanjikan pembanguan pabrik pengolahan kelapa sawit.
Tetapi kenyataannya hingga 2010 ini, pembangunan pabrik tidak kunjung terealisasi. Bahkan buah yang dipanen masyarakat terpaksa dibeli pihak perusahaan dan dibuang di tengah jalan, mengingat setelah 12 jam berpisah dari pohonnya dan tidak segera diolah, maka buah kelapa sawit akan busuk.
“Sejak pembibitan dan penanaman sawit pada 2006 dan 2007 lalu, belum ada kesepakatan (MoU) tentang hak alas tanah (pinjam pakai lahan) oleh pihak perusahaan, yakni PT Sultra Prima Lestari. Begitupula dengan pembangunan pabrik yang tidak kunjung terealisasi, sehingga saat ini masyarakat hanya digaji untuk merawat kelapa sawit, sebesar Rp 30.800 per hari,” ujar Kepala Desa Labungga Kecamatan Asera, Subardin.
Bayangkan saja masyarakat yang jelas-jelas memiliki lahan terpaksa harus bekerja dilahannya sendiri sebagai buruh, dengan hasil panen yang tidak kunjung terolah karena ketiadaan pabrik. Bandingkan dengan penghasilan mereka sebelum datangnya investor kelapa sawit, yaitu dapat mencapai Rp 10 juta, dari penjualan cokelat dan mete (1 kilo = Rp 15 ribu).
“Saya tidak ikut menanam sawit, karena tiga hektar kebun cokelat dan mete saya sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari, yaitu Rp 10 juta per sekali panen,” beber Warga Desa Labungga, La Ode Es (67 tahun).
Hal miris lain terjadi pada pemilik lahan di Desa Kuratau Kecamatan Wiwirano. Badu yang tidak menyangka akan menanggung utang ketika investor (PTPN XIV,red) kelapa sawit masuk, pasalnya MoU pembagian hasil 40 persen untuk pemilik lahan dan 60 persen untuk investor belum jelas sehingga bukannya untung, malahan utang yang didapat. Dirinya mengaku dapat
membangun rumah dan menyekolahkan keempat orang anaknya, dari hasil kebun mete dan cokelat.
Sebaliknya untuk berkebun sawit yang menurut prediksinya awalnya dikira akan dikerjakan oleh pihak perusahaan, dan dirinya hanya menerima penghasilan bersih saja, ternyata tidaklah demikian. Karena pihak perusahaan hanya memberikan uang sejumlah Rp 14 juta, untuk biaya pembibitan hingga pemeliharaan. Itu pun harus dilunasinya sepanjang kebun sawitnya berproduksi.  “Sejak menanam sawit pada tahun 2000 hingga 2009 lalu, saya baru melakukan penjualan sebanyak dua kali, karena buah panen pertama hingga ketiga harus dibuang karena mutu sawit kurang bagus. Hasil yang saya terima hanya Rp 215 ribu (143 tandan), dari empat hektar kebun sawit yang saya miliki,” kata Badu.
Pria berusia 64 tahun ini mengaku tidak mengetahui hitung-hitungan hasil sawit yang akan diterimanya. Yang dia tahu pendapatannya 40 persen dikurangi 35 persen yang terdiri dari utangnya terhadap perusahaan dan ongkos transportasi. “Karena itu saya memilih untuk merawat sendiri kebun sawit ini, tanpa perlu mengeluarkan ongkos perawatannya. Karena tidak
tercapainya perjanjian penjualan Rp 7.500 per tandan (1 tandan = 10 kilo),” tambahnya.
Keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar wajar diimpikan Badu, mengingat iming-iming besar dari pihak investor. Hal ini seperti yang diungkapkan Ketua DPRD Konut, Raup, bahwa Konut merupakan daerah primadona bagi para investor kelapa sawit.  “Kalau kedepannya tidak kita antisipasi, maka akan semakin banyak investor yang masuk ke Konut. Para
investor yang telah beroperasi saat ini, izinnya diberikan oleh Pemkab Konawe,” ungkap Ketua DPRD Konut.
Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Konut, Kahar Haris menjelaskan saat ini terdapat lima izin perkebunan yaitu, PTPN XIV, PT Sultra Prima Lestari (SPL), PT Damai Jaya Lestari (DJL), PT Celebes Agro Lestari (CAL), dan PT Mulya Tani. Rata-rata izin perusahaan tersebut memiliki 20 ribu hektar lahan, kecuali PT Mulya Tani, hanya memiliki izin seluas 16 ribu hektar.
Sebagian masuk kawasan hutan dan sebagian di luar kawasan hutan.
“Sampai dengan saat ini belum ada yang dikonversi menjadi areal pengelolaan lain (APL). Yang juga berarti tidak boleh ada aktivitas dalam kawasan hutan, karena belum ada izin Menhut. Selain itu kami juga telah melayangkan surat teguran kepada pihak-pihak yang terindikasi melanggarnya,” kata Kahar Haris.
Dirinya mengaku tidak memiliki data pasti peruntukkan lahan sawit di Konut, karena izinnya masih di Konawe, yang diketahuinya 685 hektar pada Desa Paka Indah merupakan APL PT SPL, sedangkan sebagian Kecamatan Wiwirano merupakan APL PT Mulya Sari. Mengenai hasil investigasi NGO Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra bahwa perkebunan sawit hanyalah
modus operandi dengan target utama illegal logging dan pertambangan, dirinya mengatakan akan menindaklanjuti dengan terlebih dahulu mengantongi peta izinnya.  Karena sampai dengan saat ini pihaknya belum juga memperolehnya.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, tentang rekapitulasi perkebunan rakyat di Sultra, tampak 14 perusahaan kelapa sawit yang ekspansi ke Konut diantaranya PTPN XIV di Kecamatan Wiwirano dengan permohonan 6 ribu hektar dan terealisasi 3.602 hektar, keterangan aktif. PT Celebes Agro Lestari (CAL) di Kecamatan Wiwirano, Asera dan
Langgigima dengan permohonan 200 ribu hektar dan terealisasi 700 hektar, keterangan aktif. PT Sultra Prima Lestari (SPL) di Kecamatan Molawe dan Asera dengan permohonan 20 ribu hektar dan terealisasi 4.489 hektar, keterangan pembibitan. PT Mulya Tani di Kecamatan Wiwirano dan Routa dengan permohonan 20 ribu hektar dan sementara dalam persiapam realisasi, keterangan belum ada laporan aktivitas. PT Damai Jaya Lestari (DJL) dengan permohonan 16 ribu hektar dan terealisasi 5.508,57 hektar, keterangan aktif.
Hasil investigasi dan kajian Walhi Sultra menyimpulkan usulan revisi, yang rencananya akan berlanjut pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan kawasan ekologi genting (KEG). Sebab sejumlah kawasan yang diusulan untuk kedalam revisi tata ruang merupakan KEG, yaitu areal hutan yang kaya keanekaragaman hayati yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural di darat maupun di wilayah pesisir laut.
Walhi menilai semangat pemerintah daerah (Pemda) untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi tambang dan perkebunan. “Contohnya praktek investasi PT Damai Jaya Lestari (DJL) di hutan produksi wilahyah Konut mengajukan pelepasan kawasan kepada Menhut, tetapi ditolak,” kata Direktur Walhi, Hartono beberapa waktu lalu ketika
sharing data revisi tata ruang antara koalisi NGO pemerhati KEG dengan SKPD terkait.
Sementara itu hasil penelusuran Jaringan Tambang (Jatam), sejak tahun 2003 laju kerusakan hutan Sultra mencapai 150.000 hektar per tahun, yang rusak akibat penebangan hutan dan pembukaan kebun sawit skala besar. Padahal, Sultra juga tercatat tidak mampu mengontrol kerusakan akibat pertambangan, baik yang bersakala kecil hingga skala besar. Misalnya Penambangan emas di Bombana telah merugikan negara Rp 67 Milliar, lingkungan rusak berat dan sedikitnya 38 warga meninggal akibat penambangan tersebut.
Sedangkan di Wawonii terdapat sekitar 28.600 jiwa penduduk terancam tempat tinggalnya, akibat pertambangan nikel, pasir besi dan emas. Jika rencana alih fungsi hutan ini diteruskan, maka warga yang berada disekitar kawasan hutan (seluas 480 ribu hektar) pada delapan Kabupaten dan satu Kota hidupnya akan terancam.  Dimana kawasan tersebut menjadi kawasan
penyangga utama sumber air untuk daerah Konut dan Konsel, Kolaka, Bombana dan Buton.
Masyarakat Konut tentunya perlu bercermin dari beberapa fenomena yang timbul akibat masuknya perkebunan sawit di daerah mereka. Tengok saja banjir besar yang menggenangi 25 Kecamatan yang menimbulkan korban jiwa besar dan kerugian material mencapai Rp 100 Milliar di Kabupaten Kutai (Kaltim). Belum lagi konflik lahan di Riau, yang sedikitnya terdapat 52
konflik yang hingga saat ini belum juga terselesaikan. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga akan terjadi di Konut, jika Pemda tidak berhati-hati dalam mengeluarkan izin perkebunan, tanpa terlebih dahulu melihat track record perusahaan. Misalnya PT DJL, yang pemiliknya saat ini (DL Sitorus) telah mendekam di penjara karena dinyatakan sebagai tersangka perusak hutan lindung di Riau. Lantas akankah masyarakat dan Pemda Konut hanya diam saja menunggu dampak?

Senin, 15 November 2010

Pernyataan Bersama Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

Pernyataan Bersama
Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim


Lestari (kan) Kejahatan Perkebunan Kelapa Sawit?



Pada tanggal 7-8 November 2010, bertempat di Jakarta, sebanyak 25 perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok korban dari tiga region yakni, Sumatera, Kalimantan dan Jawa, telah menyelenggarakan suatu lokakarya untuk membahas dampak  dan praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh  perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang beroperasi di region tersebut. Lokakarya ini diselenggarakan sebagai respon terhadap berlangsungnya forum Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang ke delapan, suatu mekanisme pengembangan kerangka kerja pengaturan dan prosedur untuk mewujudkan praktik perkebunan kelapa sawit yang lestari.

Pernyataan bersama ini merupakan rekomendasi dari lokakarya dimaksud, yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan tanggung jawab negara untuk mewujudkan mekanisme pertanggungjawaban yang memadai  terhadap kejahatan korporasi dan pelanggaran HAM, yang terkait dengan operasi perusahaan-perusahaan baik lokal, nasional maupun internasional, serta mendesak perusahaan-perusahaan tersebut, segera melaksanakan kewajibannya, untuk menghormati HAM dalam  operasinya di bidang perkebunan.
 
Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga tahun 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luasan perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Akan tetapi, ekspansi tersebut, justru sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup.

Berdasarkan proses diskusi yang mendalam selama lokakarya, kami mencatat bentuk-bentuk pelanggaran HAM mendasar, dimana:

1.    Dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.

2.    Publik pun terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup, akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Pada umumnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dikelola oleh perusahaan-perusaahaan besar, tidak memenuhi standard Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mayoritas AMDAL perusahaan perkebunan hanya menduplikasi dari wilayah perkebunan satu, ke perkebunan lainnya. Dalam operasionalnya, perusahaan perkebunan pun jarang sekali mentaati standar-standar lingkungan yang dipersyaratkan.

3.    Tidak hanya kepada masyarakat, perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat  lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

4.    Beranekamacam tindak intimidasi dan kekerasan tak jarang dialami oleh para pekerja HAM dan pegiat lingkungan, ketika sedang melakukan kerja-kerja pendampingan dan pengorganisiran terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan, untuk mempertahankan hak-haknya dari jarahan perusahaan, dan buruh perkebunan, untuk menuntut haknya pada perusahaan.

5.    Aparat pemerintah dan institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, banyak yang ditindaklanjuti aparat dengan penangkapan dan penahanan, bahkan hingga pengajuan ke pengadilan. Ketimpangan dalam kepemilikan, dan sentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, tidak pernah dilihat aparat negara sebagai latar belakang munculnya konflik.

6.    Situasi demikian tentu sangat tidak menguntungkan bagi sebagian besar petani, masyarakat adat, buruh, dan masyarakat umumnya, ketika hak-hak hidup dan penghidupan mereka dirampas oleh perusahaan. Hak-hak mereka untuk mengembangkan diri, demi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, diinjak-injak oleh perusahaan. Tanah sebagai sarana utama penghidupan mereka, dijarah oleh perusahaan perkebunan, dan sayangnya pemerintah senantiasa melegitimasi perilaku sewenang-wenang perusahaan terhadap petani.

7.    Pemerintah berkuasa nampaknya kian jauh mengingkari tujuan awal didirikannya negara ini, yang salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana termaktub dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. Niat baik untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak pernah diikuti dengan pengawasan yang memadai, terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya, yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia.


Dengan seluruh penderitaan dan kesamaan rasa ketertindasan, menyikapi situasi yang terus berkembang, yang tak pernah berpihak pada petani, masyarakat adat, dan buruh perkebunan, kami para korban dan pendamping korban pelanggaran kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perilaku sewenang-wenang negara, mendesak:

1.    Presiden RI, untuk menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan.

2.    Presiden RI, segera menyelesaikan konflik-konflik Pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh.

3.    Pemerintah pusat, memerintahkan pejabat-pejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya.

4.    Komisi Nasional HAM, segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di
a.    PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai;
b.    PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu;
c.     PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang;
d.    PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas;
e.    PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur;
f.     PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi;
g.    PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel
h.    PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng
i.     PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng;
j.     PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng;
k.    PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim;
l.     PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.
5.    Forum RSPO, memerintahkan anggotanya untuk segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan, antara mereka dengan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

6.    Forum RSPO, secara serius menegakkan standar-standar, prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit lestari, khususnya menjamin diterapkannya standar dan prinsip HAM yang berlaku universal dan mengikat perusahaan.

7.    Forum RSPO, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam penentuan standar akreditasi, dan penyelesaian konflik perusahaan dengan masyarakat.

8.    Perusahaan perkebunan, untuk menghentikan seluruh tindak pelanggaran hak asasi, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan.

9.    Perusahaan perkebunan, menghentikan seluruh praktik perbudakan di perkebunan.

10.    Perusahaan perkebunan, untuk lebih menghormati hukum adat yang berlaku di masyarakat, dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini dirampas oleh perusahaan.

11.    Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan institusi peradilan), untuk lebih berpihak pada kelompok rentan, dan tidak menjadi kaki tangan perusahaan untuk menekan dan memidanakan masyarakat. Termasuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabat-pejabat negara yang dididuga terlibat dalam praktik-praktik korupsi sehingga memunculkan adanya operasi perkebunan yang ilegal.

12.    DPR, turut serta secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit, melalui pengawasan melekat terhadap Kementrian Pertanian, yang seringkali tidak berpihak pada petani.

13.    Mahkamah Konstitusi, segara membatalkan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang tidak berpihak pada petani dan sering menjadi instrumen untuk mengriminalisasi petani.

14.    Lembaga keuangan internasional terutama Bank Dunia dan ADB,  segera menghentikan dukungan finansial kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan kejahatan hak azasi manusia dan lingkungan hidup.


Jakarta, 8 November 2010

sumber: http://elsam.or.id/new/

12 perusahaan sawit diduga Langgar HAM

Senin, 08 November 2010 | 19:55 WIB
Bagus Supriyatno 


Komnas HAM didesak membentuk tim pencari fakta pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan kepala sawit.
Sebanyak 25 LSM mendesak Komnas HAM agar membentuk tim pencari fakta untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis yang dilakukan 12 perusahaan sawit terhadap masyarakat di sekitar perkebunan kepala sawit.
 
“Ekspansi perkebunan kelapa sawit sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar perkebunan. Sebaliknya justru telah menciptakan berbagai dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan, termasuk perempuan dan anak-anak, serta lingkungan hidup,” kata Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum.
 
Dia menyatakan telah terjadi berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan 12 perusahaan kepala sawit saat melakukan ekspansi perkebunannya. Pelanggaran HAM tersebut di anatarnya penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.
 
Selain itu penurunan kualitas lingkungan hidup akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Meski dikelola perusaahaan besar, namun pembukaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak memenuhi standard Amdal. Tidak jarang Amdal perusahaan hanya copy paste dari satu perkebunan ke perusahaan lain.
 
Dia menyebut ke-12 perusahaan tersebut adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai; PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu; PT Bangun Nusa Mandiri (Grup Sinar Mas) Ketapang; PT Pattiware I (Grup Ganda) Sambas, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur; dan PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi.
 
Selan itu PT Subur Agro Makmur (Grup Astra), Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan; PT Mustika Sembuluh (Grup Wilmar) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalimantan Tengah;  PT Sukajadi Sawit Mekar (Grup Musi Mas) Seruyan, Kalimantan Tengah; PT Salonok Ladang Mas  (Grup Union Sampoerna Triputra Persada) Seruyan, Kalimantan Tengah;  PT Sanjung Makmur, Bulungan Kalimantan Timur; dan PT Ledo Lestari (Grup Duta Palma), Bengkayang, Kalimantan Barat.
 
Menurut Dyah, setiap tahun terjadi penambahan sekitar 400 hektar perkebunan kelapa sawit. Mereka mendesak agar presiden menghentikan pemberian ijin perluasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit. “Kemudian diikuti pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan, “ tegasnya.
 
Selain itu, Wahyudi Djafar dari LSM Pil-Net juga meminta agar pemerintah segera menyelesaikan konflik pertanahan akibat perluasan perkebunan sawit tersebut. Presiden didesak untuk mengeluarkan instruksi yang melarang pejabat di daerah melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya
 
Desakan LSM  dan kelompok korban perkebunan kelapa sawit ini berdasarkan rekomendasi dari Forum Round Table on Sustainable Palm Oil  ke-8 yang berlangsung di Jakarta 7-8 November 2010.

------

13 Perusahaan sawit diduga terlibat korupsi

JAKARTA: Sedikitnya 13 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Kalimantan dan Sumatra diduga melakukan pelanggaran HAM dan praktik korupsi terkait dengan operasi perseroan, diperburuk dengan minusnya keberpihakan penegak hukum ke masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh 25 organisasi swadaya masyarakat dan tiga organisasi korban yang tergabung dalam Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan. Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indriaswati Diah mengatakan perkembangan kelapa sawit yang difasilitasi pemerintah justru menciptakan dampak negatif ke masyarakat kecil.
"Pemerintah harus menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan," ujar Indriaswati kepada pers di Jakarta hari ini.
Kelompok kerja itu sudah mencatat beberapa jenis pelanggaran HAM, maupun korupsi oleh 12 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Perbuatan tersebut adalah penyerobotan tanah, penurunan kualitas lingkungan hidup, korupsi dan  intimidasi terhadap masyarakat.
Sejumlah korporasi yang dimaksud adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai, Sumut, PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu, Sumut dan PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang, Kalbar.
Perusahaan lainnya adalah PT Pattiware I (Ganda Group), Sambas, Kalbar, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kaltim, PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi, PT Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel dan PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng.
Selain itu,  PT Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng, PT Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng, PT Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan PT Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

sumber: http://www.bisnis.com/umum/hukum/1id219091.html
------------------------------------------------------------

Presiden didesak selesaikan konflik warga-perusahaan perkebunan

Jakarta - Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh.

"Memerintahkan pejabat-pejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya," kata Koordinator PSD HAM Elsam, Wahyu  Wagiman, dalam jumpa persnya, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (8/11).

Pernyataan ini diserukan oleh ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim.

Menurut Wahyu, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luas perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Kendati demikian, ekspansi itu  sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

"Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup," jelas dia.

Pasalnya,  dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan. "Aparat pemerintah dan institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan," tegasnya.

Beberapa perusahaan disebutkan Kelompok Kerja ini diduga melakukan berbagai pelanggaran itu. Oleh sebab itu, lanjut Wahyu, Komisi Nasional HAM, harus segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai; PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu; PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang; PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas; PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur; PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi; PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel;  PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng  PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng; PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng; PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan  PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

Sumber: http://www.primaironline.com/berita/ekonomi/presiden-didesak-selesaikan-konflik-warga-perusahan-perkebunan
-----------------------------------------------------------

Nama perusahaan perkebunan yang dituding melanggar HAM

Jakarta - Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) diminta membentuk tim pencari faktauntuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis yang dilakukan perusahaan perkebunan.

Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam rilis yang diterima primaironline.com, Senin (8/11) menyatakan ada beberapa perusahaan sawit yang diduga melanggar hak asasi manusia.

Berikut perusahaan yang diduga melanggar hak asasi manusia versi Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan:

1.   PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai;
2.   PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu;
3.   PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang;
4.   PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas;
5.   PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur;
6.   PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi;
7.   PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel
8.   PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng
9.   PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng;
10. PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng;
11. PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim;
12. PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.


Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan yang terdiri dari LSM,  ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim menyatakan, dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.

"Bahkan perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat  lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit," ujar Wahyudi Djafar dalam rilisnya.

Sumber:http://www.primaironline.com/berita/hukum/nama-perusahaan-perkebunan-yang-dituding-melanggar-ham
---------------------------------

13 Perusahaan Sawit Diduga Langgar HAM dan Korupsi

JAKARTA – Sedikitnya 13 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Kalimantan dan Sumatra diduga melakukan pelanggaran HAM dan praktik korupsi terkait dengan operasi perseroan, diperburuk dengan minusnya keberpihakan penegak hukum ke masyarakat.

Hal itu disampaikan oleh 25 organisasi swadaya masyarakat dan tiga organisasi korban yang tergabung dalam Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan. Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indriaswati Diah mengatakan, perkembangan kelapa sawit yang difasilitasi pemerintah justru menciptakan dampak negatif ke masyarakat kecil.

“Pemerintah harus menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan,” ujar Indriaswati kepada pers di Jakarta Senin (5/11).

Kelompok kerja itu sudah mencatat beberapa jenis pelanggaran HAM, maupun korupsi oleh 12 perusahaan kelapa sawit di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Perbuatan tersebut adalah penyerobotan tanah, penurunan kualitas lingkungan hidup, korupsi dan  intimidasi terhadap masyarakat.

Sejumlah korporasi yang dimaksud adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai, Sumut, PT Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu, Sumut dan PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang, Kalbar.

Perusahaan lainnya adalah PT Pattiware I (Ganda Group), Sambas, Kalbar, PT Satu Sembilan Delapan, Berau, Kaltim, PT Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi, PT Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel dan PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng.

Selain itu,  PT Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng, PT Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng, PT Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim dan PT Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.

Sumber:
http://www.cuwelamomang.com/13-perusahaan-sawit-diduga-langgar-ham-dan-korupsi/

-----------------------------------------------------------


















































"Sawit Sejuta Masalah"

(Kuburan  Yang Berada Ditengah jalan perusahaan sawit)

Guna memenuhi ambisi tersebut, pemerintah berupaya terus memperluas areal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dari data SOB, Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,45 juta hektar ( tahun 2008 ) atau meningkat 10,7 % dari tahun 2007 yang mencapai luas 6,79 juta hektar. Walau ambisi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, keuntungan yang besar justru diperoleh sejumlah pengusaha dan pemodal dibidang perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar adalah pengusaha dan pemodal dari Negara asing.
 
(Orang Utang Kehilangan Tempat Tinggal)
Masyarakat disekitar perkebunan kerap kali menjadi korban. Konflik penguasaan lahan antara masyarakat dan pengusaha seringkali terjadi , pelanggaran- pelanggaran terhadap buruh-buruh tani diperkebunan masih sering kita dengar dan lihat dimedia massa, pelangaran terhadap hak-hak adat, perusakan situs-situs budaya, pembantaian hewan yang dilindungi dll, kerapkali terjadi di areal yang menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit. Belum lagi dampak lain yang ditimbulkan akibat dari pembukaan perkebunan kelapa sawit, seperti; banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dll. 

"MARINTIS BALUKAR"

SEBUAH PROSES PROTEKSI SEDERHANA YANG DILAKUKAN MASYARAKAT SEMBULUH SAAT INI.

M arintis Balukar [bahasa sembuluh] dalam pengertian dalam bahasa indonesia adalah sebuah proses membuat alur [jalan] untuk memudahkan pengaturan lokasi lahan untuk berladang atau berkebun. Proses berladang oleh masyarakat sembuluh sudah dalam 4 tahun terakhir ini jarang terlihat di desa sembuluh. Apalagi dalam 2 tahun terakhir ini pemerintah melalui intruksi dari Gubernur dan di teruskan kepada Bupati dan walikota untuk tidak memperbolehkan membakar hutan dan lahan.
Marintis balukar yang dilakukan oleh sekitar 50-an orang warga desa sembuluh I dan II pada bulan juni 2008 yang lalu adalah merupakan proses panjang dimana hutan belukar yang direncanakan masyarakat untuk lahan perkebunan karet ini merupakan sebagian kecil wilayah yang tersisa untuk masyarakat sembuluh. Lokasi ini dinamakan masyarakat [dengan nama lokal] lokasi pangajangan, dimana dulunya merupakan tempat sebagian masyarakat berladang dan usaha lain seperti membuat balok ulin [manggesek ulin], berburu. Luas lahan ini di perkirakan sekitar 700-an hektar, yang berbatasan dengan blok-blok kebun sawit PT.KERRY SAWIT INDONESIA [PT.KSI- WILMAR] dan PT. SALONOK LADANG MAS [PT.SLM- USTP]. Menurut penuturan warga setempat,sebelumnya luas di pangajangan ini seluas +/- 1.400-an hektar. Karena ada beberapa oknum yang mengatasnamakan masyarakat yang menjual wilayah ini kepada perusahaan perkebunan untuk pengembangan sawit, dan hutan serta belukar pangajangan menjadi berkurang menjadi +/- 700-an hektar.
LOKASI KETAHANAN PANGAN YANG TERSISA Lokasi pangajangan ini merupakan daerah natai¹ [daerah tinggi], dan pada bagian rendahnya bersatu dengan ayap² kursi [ayap;rawa]. Jarak tempuh untuk mencapai lokasi ini pada saat sekarang memakan waktu sekitar 0,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari desa sembuluh dengan melewati blok-blok kebun sawit PT. SLM dan KSI. Dulu sebelum ada jalan darat,untuk mencapai lokasi ini masyarakat dalam proses berladang biasanya menggunakan perahu kelotok selama 1 jam kemudian di teruskan lagi dengan berjalan kaki selama 3-4 jam perjalanan. 
Pada lokasi pangajangan ini sejak tahun 2007 terpampang sebuah papan dengan tulisan ”LAHAN KEBUN MASYARAKAT DESA SEMBULUH I/II” walaupun terlihat
tulisan di papan tersbut sudah mulai pudar. Menurut masyarakat sejak tahun 2006, lokasi ini sudah hampir 3 bahkan 4 kali akan di lakukan penggarapan oleh perusahaan
perkebunan sawit,namun hal tersebut selalu di cegah oleh masyarakat. Alasan dari pihak perusahaan adalah bahwa lokasi ini sudah di bebaskan [dijual] oleh oknum masyarakat. Namun masyarakat tetap bersikeras untuk mempertahan lokasi ini. karena lokasi [lahan] yang ada ini merupakan lahan yang tersisa milik dari masyarakat desa sembuluh. Terakhir lokasi ini akan dijual oleh oknum masyarakat pada bulan maret tahub 2008 yang lalu, namun lokasi lahan ini tetap di tahan [proteksi] oleh masyarakat dengan mendatangi phak perusahaan untuk tidak melakukan penggarapan lahan.okasi lahan pangajangan ini tembus pada daerah rawa [ayap],atau masyarakat sembuluh biasanya menyebut dengan lokasi ayap kursi.
Menurut informasi masyarakat,lokasi ayap kursi saat ini di perkirakan seluas 200 – 300 hektar. Pada tahun 2006,lokasi ayap kursi juga di lakukan perintisan oleh masyarakat untuk di jadikan perencanaan lokasi pertanian sawah. Ayap atau rawa biasanya dijadikan atau dikembankan menjadi lokasi lahan pertanian sawah.
Hal ini kemudian di respon oleh pemerintah kabupaten seruyan melalui program subsidi BBM dengan membuat rintisan irigasi di bantu oleh pihak perusahaan [PT.SLM dan PT KSI] untuk membuat batas,dimana lokasi ayap kursi ini juga berbatasan dengan kedua perusahaan tersebut. Namun dalam proses penggunaan dana
proyek [subsidi BBM] untuk pembuatan irigasi lokasi persawahan ini tidak berjalan dengan baik dan sampai saat ini lokasi ayap kursi menunggu akan dijadikan blok kebun sawit atau lokasi pertaniansawah.
Melihat dari proses kecil yang dilakukan oleh masyarakat sembuluh,mestinya pemerintah dan perusahaan yang ada di sekitar lokasi pangajangan jeli melihat. Karena proses marintis yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sembuluh adalah suatu upaya penyelamatan pangan masyarakat natai dan ayap dari blok-blok pengembangan kebun kelapa sawit. Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono dalam sebuah tayangan beberapa bulan yang lalu pernah mengatakan bahwa ketahanan pangan masyarakat harus di jaga. Dengan demikian alangkah bijaknya apabila pemerintah dari Bupati,Camat sampai pemerintahan terendah [Kepala Desa hingga
RT] bersama masyarakat lainnya bersama menyelamatkan lokasi ayap yang tersisa untuk lokasi pertanian sawah yang menjadi tempat areal pangan masyarakat.
Oleh karena itu lokasi lumbung pangan masyarakat harus diselamatkan karena manusia tidak makan buah sawit tapi makan nasi [beras]. ¹Natai adalah sebuah dataran yang agak tinggi dari ayap. Pada daerah natai ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk berladang dan berburu. Pada daerah natai ini terdapat hutan tempat masyarakt mencari berbagai kebutuhan seperti mencari akar obat,jenis kayu dan usaha lainnya. Apabila natai yang dituju agak jauh dari pemukiman,masyarakat untuk mencapai lokasi natai biasanya beristirahat ditengah perjalanan. Tempat tempat istirahat/ persinggahan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk melakukan kegiatan berladang atau berburu tersebut di sebut dengan Tungkaran. Pada daerah natai ini terbagi dalam berbagai peruntukan seperti hutan [himba],lokasi ladang,bekas pemukiman d a n l a d a n g [ k a l e h k a k ] , k e b u n , t e m p a t u s a h a [manggembor,manggaru,maulin,dll]. Ayap adalah sebuah dataran rendah atau rawa tadah hujan yang bisa dan cocok digunakan untuk pertanian sawah [menanam pad]i. Pada Pada lokasi ini biasanya mempunyai tingkat keasaman yang lebih. Selain itu juga biasanya masyarakat menangkap ikan pada waktu tertentu

[OEBAN_HADJO]