==SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK-KAMPUNG==

"PERTAHANKAN ATAU MATI"

Selasa, 16 November 2010

Kesejahteraan SAWIT Sebatas JANJI

Kendari Pos, Lingkungan 2010-01-23/ Halaman 6


INDONESIA merupakan negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia. Saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 juta hektar dan masih berencana memperluas kebun sawitnya hingga mencapai 20 juta hektar.
Perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab utama penggundulan hutan dan pembukaan lahan gambut Indonesia, yang menyebabkan punahnya spesies langka dan keanekaragaman hayati lainnya. Selain itu mekanisme pembakaran dalam membuka lahan dan pengeringan gambut untuk ditanami sawit, ternyata menghasilkan jutaan ton karbondioksida (CO2), yang membuat Indonesia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan China.
Di sisi ketenagakerjaan, jutaan penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan lahan gambut mengalami kesulitan. Karena mereka terpaksa kehilangan tanah dan kebun demi pembangunan kebun kelapa sawit.
Gambaran tersebut di atas merupakan fakta nasional. Namun rupanya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara. Dari tujuh kecamatan yang ada, tiga diantaranya memiliki kebun kelapa sawit, masing-masing kecamatan Asera, Langkikima, dan Wiwirano. Tahun 2005 lalu —ketika belum mekar dari Kabupaten Konawe— mereka kedatangan investor kelapa sawit.
Pada saat itu ratusan masyarakat berbondong-bondong untuk mengadu peruntungan menjadi petani kelapa sawit. Tidak terelakkan banyak masyarakat yang menyerahkan copyan sertifikat tanah, sebagai bukti bahwa lahannya siap untuk diukur dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pihak perusahaan menjanjikan pembagian hasil 40 persen untuk pemilik lahan dan 60 persen untuk perusahaan. Tidak hanya itu pihak perusahaan pun menjanjikan pembanguan pabrik pengolahan kelapa sawit.
Tetapi kenyataannya hingga 2010 ini, pembangunan pabrik tidak kunjung terealisasi. Bahkan buah yang dipanen masyarakat terpaksa dibeli pihak perusahaan dan dibuang di tengah jalan, mengingat setelah 12 jam berpisah dari pohonnya dan tidak segera diolah, maka buah kelapa sawit akan busuk.
“Sejak pembibitan dan penanaman sawit pada 2006 dan 2007 lalu, belum ada kesepakatan (MoU) tentang hak alas tanah (pinjam pakai lahan) oleh pihak perusahaan, yakni PT Sultra Prima Lestari. Begitupula dengan pembangunan pabrik yang tidak kunjung terealisasi, sehingga saat ini masyarakat hanya digaji untuk merawat kelapa sawit, sebesar Rp 30.800 per hari,” ujar Kepala Desa Labungga Kecamatan Asera, Subardin.
Bayangkan saja masyarakat yang jelas-jelas memiliki lahan terpaksa harus bekerja dilahannya sendiri sebagai buruh, dengan hasil panen yang tidak kunjung terolah karena ketiadaan pabrik. Bandingkan dengan penghasilan mereka sebelum datangnya investor kelapa sawit, yaitu dapat mencapai Rp 10 juta, dari penjualan cokelat dan mete (1 kilo = Rp 15 ribu).
“Saya tidak ikut menanam sawit, karena tiga hektar kebun cokelat dan mete saya sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari, yaitu Rp 10 juta per sekali panen,” beber Warga Desa Labungga, La Ode Es (67 tahun).
Hal miris lain terjadi pada pemilik lahan di Desa Kuratau Kecamatan Wiwirano. Badu yang tidak menyangka akan menanggung utang ketika investor (PTPN XIV,red) kelapa sawit masuk, pasalnya MoU pembagian hasil 40 persen untuk pemilik lahan dan 60 persen untuk investor belum jelas sehingga bukannya untung, malahan utang yang didapat. Dirinya mengaku dapat
membangun rumah dan menyekolahkan keempat orang anaknya, dari hasil kebun mete dan cokelat.
Sebaliknya untuk berkebun sawit yang menurut prediksinya awalnya dikira akan dikerjakan oleh pihak perusahaan, dan dirinya hanya menerima penghasilan bersih saja, ternyata tidaklah demikian. Karena pihak perusahaan hanya memberikan uang sejumlah Rp 14 juta, untuk biaya pembibitan hingga pemeliharaan. Itu pun harus dilunasinya sepanjang kebun sawitnya berproduksi.  “Sejak menanam sawit pada tahun 2000 hingga 2009 lalu, saya baru melakukan penjualan sebanyak dua kali, karena buah panen pertama hingga ketiga harus dibuang karena mutu sawit kurang bagus. Hasil yang saya terima hanya Rp 215 ribu (143 tandan), dari empat hektar kebun sawit yang saya miliki,” kata Badu.
Pria berusia 64 tahun ini mengaku tidak mengetahui hitung-hitungan hasil sawit yang akan diterimanya. Yang dia tahu pendapatannya 40 persen dikurangi 35 persen yang terdiri dari utangnya terhadap perusahaan dan ongkos transportasi. “Karena itu saya memilih untuk merawat sendiri kebun sawit ini, tanpa perlu mengeluarkan ongkos perawatannya. Karena tidak
tercapainya perjanjian penjualan Rp 7.500 per tandan (1 tandan = 10 kilo),” tambahnya.
Keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar wajar diimpikan Badu, mengingat iming-iming besar dari pihak investor. Hal ini seperti yang diungkapkan Ketua DPRD Konut, Raup, bahwa Konut merupakan daerah primadona bagi para investor kelapa sawit.  “Kalau kedepannya tidak kita antisipasi, maka akan semakin banyak investor yang masuk ke Konut. Para
investor yang telah beroperasi saat ini, izinnya diberikan oleh Pemkab Konawe,” ungkap Ketua DPRD Konut.
Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Konut, Kahar Haris menjelaskan saat ini terdapat lima izin perkebunan yaitu, PTPN XIV, PT Sultra Prima Lestari (SPL), PT Damai Jaya Lestari (DJL), PT Celebes Agro Lestari (CAL), dan PT Mulya Tani. Rata-rata izin perusahaan tersebut memiliki 20 ribu hektar lahan, kecuali PT Mulya Tani, hanya memiliki izin seluas 16 ribu hektar.
Sebagian masuk kawasan hutan dan sebagian di luar kawasan hutan.
“Sampai dengan saat ini belum ada yang dikonversi menjadi areal pengelolaan lain (APL). Yang juga berarti tidak boleh ada aktivitas dalam kawasan hutan, karena belum ada izin Menhut. Selain itu kami juga telah melayangkan surat teguran kepada pihak-pihak yang terindikasi melanggarnya,” kata Kahar Haris.
Dirinya mengaku tidak memiliki data pasti peruntukkan lahan sawit di Konut, karena izinnya masih di Konawe, yang diketahuinya 685 hektar pada Desa Paka Indah merupakan APL PT SPL, sedangkan sebagian Kecamatan Wiwirano merupakan APL PT Mulya Sari. Mengenai hasil investigasi NGO Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra bahwa perkebunan sawit hanyalah
modus operandi dengan target utama illegal logging dan pertambangan, dirinya mengatakan akan menindaklanjuti dengan terlebih dahulu mengantongi peta izinnya.  Karena sampai dengan saat ini pihaknya belum juga memperolehnya.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, tentang rekapitulasi perkebunan rakyat di Sultra, tampak 14 perusahaan kelapa sawit yang ekspansi ke Konut diantaranya PTPN XIV di Kecamatan Wiwirano dengan permohonan 6 ribu hektar dan terealisasi 3.602 hektar, keterangan aktif. PT Celebes Agro Lestari (CAL) di Kecamatan Wiwirano, Asera dan
Langgigima dengan permohonan 200 ribu hektar dan terealisasi 700 hektar, keterangan aktif. PT Sultra Prima Lestari (SPL) di Kecamatan Molawe dan Asera dengan permohonan 20 ribu hektar dan terealisasi 4.489 hektar, keterangan pembibitan. PT Mulya Tani di Kecamatan Wiwirano dan Routa dengan permohonan 20 ribu hektar dan sementara dalam persiapam realisasi, keterangan belum ada laporan aktivitas. PT Damai Jaya Lestari (DJL) dengan permohonan 16 ribu hektar dan terealisasi 5.508,57 hektar, keterangan aktif.
Hasil investigasi dan kajian Walhi Sultra menyimpulkan usulan revisi, yang rencananya akan berlanjut pada penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan kawasan ekologi genting (KEG). Sebab sejumlah kawasan yang diusulan untuk kedalam revisi tata ruang merupakan KEG, yaitu areal hutan yang kaya keanekaragaman hayati yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan secara ekologi, ekonomis, sosiokultural di darat maupun di wilayah pesisir laut.
Walhi menilai semangat pemerintah daerah (Pemda) untuk merevisi tata ruang lebih berorientasi terhadap kepentingan investasi tambang dan perkebunan. “Contohnya praktek investasi PT Damai Jaya Lestari (DJL) di hutan produksi wilahyah Konut mengajukan pelepasan kawasan kepada Menhut, tetapi ditolak,” kata Direktur Walhi, Hartono beberapa waktu lalu ketika
sharing data revisi tata ruang antara koalisi NGO pemerhati KEG dengan SKPD terkait.
Sementara itu hasil penelusuran Jaringan Tambang (Jatam), sejak tahun 2003 laju kerusakan hutan Sultra mencapai 150.000 hektar per tahun, yang rusak akibat penebangan hutan dan pembukaan kebun sawit skala besar. Padahal, Sultra juga tercatat tidak mampu mengontrol kerusakan akibat pertambangan, baik yang bersakala kecil hingga skala besar. Misalnya Penambangan emas di Bombana telah merugikan negara Rp 67 Milliar, lingkungan rusak berat dan sedikitnya 38 warga meninggal akibat penambangan tersebut.
Sedangkan di Wawonii terdapat sekitar 28.600 jiwa penduduk terancam tempat tinggalnya, akibat pertambangan nikel, pasir besi dan emas. Jika rencana alih fungsi hutan ini diteruskan, maka warga yang berada disekitar kawasan hutan (seluas 480 ribu hektar) pada delapan Kabupaten dan satu Kota hidupnya akan terancam.  Dimana kawasan tersebut menjadi kawasan
penyangga utama sumber air untuk daerah Konut dan Konsel, Kolaka, Bombana dan Buton.
Masyarakat Konut tentunya perlu bercermin dari beberapa fenomena yang timbul akibat masuknya perkebunan sawit di daerah mereka. Tengok saja banjir besar yang menggenangi 25 Kecamatan yang menimbulkan korban jiwa besar dan kerugian material mencapai Rp 100 Milliar di Kabupaten Kutai (Kaltim). Belum lagi konflik lahan di Riau, yang sedikitnya terdapat 52
konflik yang hingga saat ini belum juga terselesaikan. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga akan terjadi di Konut, jika Pemda tidak berhati-hati dalam mengeluarkan izin perkebunan, tanpa terlebih dahulu melihat track record perusahaan. Misalnya PT DJL, yang pemiliknya saat ini (DL Sitorus) telah mendekam di penjara karena dinyatakan sebagai tersangka perusak hutan lindung di Riau. Lantas akankah masyarakat dan Pemda Konut hanya diam saja menunggu dampak?