==SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK-KAMPUNG==

"PERTAHANKAN ATAU MATI"

Senin, 15 November 2010

Pernyataan Bersama Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

Pernyataan Bersama
Kelompok Kerja Advokasi Korban Perkebunan

ELSAM, PIL-Net, Demos, HuMA, Institute Dayakologi, Bakumsu, BPMP, Bitra, Lentera Sumut, KPS Medan, Walhi Kalbar, Gemawan, LBBT Pontianak, Save Our Borneo-Kalteng, SPKS, Walhi Kalsel, Pontianak Institute, Formasku-Jambi, Perwakilan Petani Jambi, Perwakilan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim


Lestari (kan) Kejahatan Perkebunan Kelapa Sawit?



Pada tanggal 7-8 November 2010, bertempat di Jakarta, sebanyak 25 perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok korban dari tiga region yakni, Sumatera, Kalimantan dan Jawa, telah menyelenggarakan suatu lokakarya untuk membahas dampak  dan praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh  perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang beroperasi di region tersebut. Lokakarya ini diselenggarakan sebagai respon terhadap berlangsungnya forum Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang ke delapan, suatu mekanisme pengembangan kerangka kerja pengaturan dan prosedur untuk mewujudkan praktik perkebunan kelapa sawit yang lestari.

Pernyataan bersama ini merupakan rekomendasi dari lokakarya dimaksud, yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan tanggung jawab negara untuk mewujudkan mekanisme pertanggungjawaban yang memadai  terhadap kejahatan korporasi dan pelanggaran HAM, yang terkait dengan operasi perusahaan-perusahaan baik lokal, nasional maupun internasional, serta mendesak perusahaan-perusahaan tersebut, segera melaksanakan kewajibannya, untuk menghormati HAM dalam  operasinya di bidang perkebunan.
 
Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah berkembang begitu massif. Hingga tahun 2010, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,1 juta hektar. Setiap tahunnya, luasan perkebunan kelapa sawit, bertambah sedikitnya 400 ribu hektar (Sawit Watch, 2010). Akan tetapi, ekspansi tersebut, justru sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang difasilitasi Pemerintah Indonesia, justru telah menciptakan sekian banyak dampak negatif bagi mayoritas petani kecil, masyarakat adat, buruh perkebunan (termasuk perempuan dan anak-anak), dan lingkungan hidup.

Berdasarkan proses diskusi yang mendalam selama lokakarya, kami mencatat bentuk-bentuk pelanggaran HAM mendasar, dimana:

1.    Dalam melakukan ekspansi perkebunan, perusahaan perkebunan acapkali melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dari mulai penyerobotan tanah-tanah milik masyarakat, kriminalisasi terhadap petani, hingga penindasan terhadap hak-hak buruh perkebunan.

2.    Publik pun terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup, akibat hadirnya perusahaan perkebunan. Pada umumnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dikelola oleh perusahaan-perusaahaan besar, tidak memenuhi standard Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mayoritas AMDAL perusahaan perkebunan hanya menduplikasi dari wilayah perkebunan satu, ke perkebunan lainnya. Dalam operasionalnya, perusahaan perkebunan pun jarang sekali mentaati standar-standar lingkungan yang dipersyaratkan.

3.    Tidak hanya kepada masyarakat, perusahaan perkebunan juga melancarkan serangkaian intimidasi terhadap pekerja hak asasi manusia dan pegiat  lingkungan, yang secara konsisten mendampingi petani korban kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

4.    Beranekamacam tindak intimidasi dan kekerasan tak jarang dialami oleh para pekerja HAM dan pegiat lingkungan, ketika sedang melakukan kerja-kerja pendampingan dan pengorganisiran terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan, untuk mempertahankan hak-haknya dari jarahan perusahaan, dan buruh perkebunan, untuk menuntut haknya pada perusahaan.

5.    Aparat pemerintah dan institusi hukum, yang seharusnya melindungi masyarakat, juga sering tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, banyak yang ditindaklanjuti aparat dengan penangkapan dan penahanan, bahkan hingga pengajuan ke pengadilan. Ketimpangan dalam kepemilikan, dan sentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, tidak pernah dilihat aparat negara sebagai latar belakang munculnya konflik.

6.    Situasi demikian tentu sangat tidak menguntungkan bagi sebagian besar petani, masyarakat adat, buruh, dan masyarakat umumnya, ketika hak-hak hidup dan penghidupan mereka dirampas oleh perusahaan. Hak-hak mereka untuk mengembangkan diri, demi mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, diinjak-injak oleh perusahaan. Tanah sebagai sarana utama penghidupan mereka, dijarah oleh perusahaan perkebunan, dan sayangnya pemerintah senantiasa melegitimasi perilaku sewenang-wenang perusahaan terhadap petani.

7.    Pemerintah berkuasa nampaknya kian jauh mengingkari tujuan awal didirikannya negara ini, yang salah satunya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, sebagaimana termaktub dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. Niat baik untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak pernah diikuti dengan pengawasan yang memadai, terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya, yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia.


Dengan seluruh penderitaan dan kesamaan rasa ketertindasan, menyikapi situasi yang terus berkembang, yang tak pernah berpihak pada petani, masyarakat adat, dan buruh perkebunan, kami para korban dan pendamping korban pelanggaran kejahatan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perilaku sewenang-wenang negara, mendesak:

1.    Presiden RI, untuk menghentikan pemberian ijin perluasan, dan pembukaan perkebunan kelapa sawit, yang dilanjutkan dengan pembentukan tim independen untuk melakukan audit legal, sosial, dan  lingkungan terhadap perusahaan perkebunan.

2.    Presiden RI, segera menyelesaikan konflik-konflik Pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, secara adil dan menyeluruh.

3.    Pemerintah pusat, memerintahkan pejabat-pejabat di daerah, untuk menghentikan praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya.

4.    Komisi Nasional HAM, segera membentuk tim pencari fakta, untuk memeriksa dugaan terjadinya kejahatan hak asasi manusia sistematis, di
a.    PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk Kebun Rambong Sialang Estate, Serdang Bedagai;
b.    PT. Graha Dura Leidong Prima dan PT Sawita Leidong Jaya, Labuhan Batu;
c.     PT. Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) Ketapang;
d.    PT. Pattiware I (Ganda Group) Sambas;
e.    PT. Satu Sembilan Delapan, Berau, Kalimantan Timur;
f.     PT. Asiatic Persada (Wilmar Group), Batanghari, Jambi;
g.    PT. Subur Agro Makmur (Astra Group), Hulu Sungai Selatan, Kalsel
h.    PT. Mustika Sembuluh (Wilmar Group) Kota Waringin Timur, Seruyan, Kalteng
i.     PT. Sukajadi Sawit Mekar (Musi Mas Group) Seruyan, Kalteng;
j.     PT. Salonok Ladang Mas (Union Sampoerna Triputra Persada Group) Seruyan, Kalteng;
k.    PT. Sanjung Makmur, Bulungan Kaltim;
l.     PT. Ledo Lestari (Duta Palma Group), Bengkayang, Kalbar.
5.    Forum RSPO, memerintahkan anggotanya untuk segera menyelesaikan konflik-konflik pertanahan, antara mereka dengan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.

6.    Forum RSPO, secara serius menegakkan standar-standar, prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit lestari, khususnya menjamin diterapkannya standar dan prinsip HAM yang berlaku universal dan mengikat perusahaan.

7.    Forum RSPO, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam penentuan standar akreditasi, dan penyelesaian konflik perusahaan dengan masyarakat.

8.    Perusahaan perkebunan, untuk menghentikan seluruh tindak pelanggaran hak asasi, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap petani dan masyarakat di sekitar perkebunan.

9.    Perusahaan perkebunan, menghentikan seluruh praktik perbudakan di perkebunan.

10.    Perusahaan perkebunan, untuk lebih menghormati hukum adat yang berlaku di masyarakat, dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini dirampas oleh perusahaan.

11.    Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan institusi peradilan), untuk lebih berpihak pada kelompok rentan, dan tidak menjadi kaki tangan perusahaan untuk menekan dan memidanakan masyarakat. Termasuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabat-pejabat negara yang dididuga terlibat dalam praktik-praktik korupsi sehingga memunculkan adanya operasi perkebunan yang ilegal.

12.    DPR, turut serta secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit, melalui pengawasan melekat terhadap Kementrian Pertanian, yang seringkali tidak berpihak pada petani.

13.    Mahkamah Konstitusi, segara membatalkan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang tidak berpihak pada petani dan sering menjadi instrumen untuk mengriminalisasi petani.

14.    Lembaga keuangan internasional terutama Bank Dunia dan ADB,  segera menghentikan dukungan finansial kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan kejahatan hak azasi manusia dan lingkungan hidup.


Jakarta, 8 November 2010

sumber: http://elsam.or.id/new/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar